Proyek
Mass Rapid Transit Jakarta adalah Proyek Pemerintah Prov. DKI Jakarta dalam
menanggulangi kemacetan yang akhir-akhir ini sering terjadi dan sangat
memacetkan. Kereta yang dipergunakan bisa KRL ataupun Monorel. Bersama Transjakarta diharapkan
proyek ini dapat menanggulangi kemacetan lalu-lintas.
Kalau sebuah kota dibangun dengan lintas layang atau bawah tanah, maka
tidak ada pintu perlintasan kereta api, sehingga jadwal kereta api bisa 1,5 - 2
menit sekali seperti yang terjadi di Jepang. Oleh sebab itu KRL di Jakarta
tidak mungkin dioperasikan kurang dari 10 menit, karena masih ada pintu perlintasan
kereta api, akibatnya juga setiap rangkaian KRL selalu penuh.
Rencana
Pengembangan
Untuk koridor Selatan-Utara (Koridor Lebak Bulus-Kampung Bandan)
sepanjang kurang lebih ± 23, 8 km. Koridor Lebak Bulus-Kampung Bandan dilakukan
dalam 2 tahap :
Tahap I yang akan dibangun terlebih dahulu
menghubungkan Lebak Bulus sampai dengan Bundaran HI sepanjang 15,7 km dengan 13
stasiun, antaralain sebanyak 7 stasiun layang dan 6 stasiun bawah tanah
ditargetkan mulai beroperasi pada akhir 2016.
Sebanyak 7 stasiun sepanjang 7 Km berada di atas
(elevated/layang) yaitu stasiun Lebak Bulus, Fatmawati, Cipete, Haji Nawi, Blok
A, Blok M dan Sisingamangaraja. ementara itu 6 stasiun sepanjang 6 Km berada di
bawah tanah yaitu Bundaran Senayan, Istora, Benhil, Setiabudi, Dukuh Atas,
Bundaran HI.
Untuk tahap II koridor utara-selatan, rencananya
stasiun-stasiunnya semuanya di bawah tanah antara lain Kebon Sirih, Monas,
Harmoni, Glodok, Kota dan Kampung Bandan. MRT Tahap II utara-selatan dari
Bundaran HI ke Kampung Bandan sepanjang 8,1 Km yang akan mulai dibangun sebelum
tahap I beroperasi dan ditargetkan beroperasi 2018 dipercepat dari 2020.
Payung hukum soal proyek MRT antaralain Peraturan
Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pendirian PT MRT Jakarta dan Perda
Nomor 4 Tahun 2008 tentang Penyertaan Modal ke PT MRT Jakarta. Dalam aturan itu
operator MRT adalah PT MRT Jakarta yang berfungsi sebagai pihak yang membangun,
mengoperasikan, dan memelihara MRT.
Selain itu ada Perda No.4 Tahun 2008 mengatur
penggunaan permodalan yang dipinjamkan JICA, yaitu menerima setoran modal dari
Pemprov DKI sebesar 42% dari total pinjaman dari JICA, dan pinjaman pemerintah
pusat 58% dari total pinjaman yang diteruskan ke Pemprov DKI lalu oleh Pemprov
DKI ke PT MRT.
Total dana yang dibutuhkan untuk proyek MRT tahap
I sebesar Rp 15 triliun. Dana pinjaman itu harus dikembalikan dengan bunga 0,2%
dan 0,4% dengan jangka waktu pengembalian 30 tahun plus 10 tahun.
Ada tiga dampak buruk dari MRT layang dari Lebak Bulus ke
Sisingamangaraja, antara lain:
Pertama, akan menimbulkan
kemacetan baru di sepanjang jalan di bawah rel kereta api. Median jalan itu
akan diambil untuk naruh tiang-tiang rel dan stasiun. Akses keluar-masuk ke
gang-gang di sepanjang jalan Fatmawati – Sisingamangaraja pasti akan terganggu.
Apalagi sampai sekarang juga belum jelas analisis dampak lalu lintasnya baik
selama maupun setelah pembangunan selesai.
Kedua, akan mematikan bisnis di
kawasan Fatmawati yang sudah mulai hidup sejak 20 tahun terakhir. Jangan lupa,
untuk memulai bisnis di kawasan itu adalah pengorbanan individu per individu
dengan memulai usaha bisnis pada saat kawasan tersebut masih sepi, bukan karena
usaha Pemerintah Pusat/Pemprov DKI Jakarta sengaja membuka kawasan bisnis di
sana.
Kawasan bisnis di Fatmawati itu sekarang telah
mampu memecah beban pergerakan ke arah kota sekedar untuk belanja barang-barang
elektronik atau karpet. Dengan adanya kawasan bisnis yang tumbuh subur di
sepanjang Jalan Fatmawati itu secara otomatis dapat mengurangi beban pergerakan
ke arah kota.
Bila kawasan bisnis sampai hancur karena
pembangunan MRT, maka pembangunan MRT sesungguhnya hanya melahirkan persoalan
baru, karena akan mendorong orang-orang dari kawasan Jakarta Selatan harus
pergi ke Kota (Glodok) lagi sekedar untuk belanja barang-barang elektronik dan
sejenisnya. Akhirnya, akan lebih banyak kendaraan pribadi mengarah ke Kota.
Mubazirlah pembangunan MRT tersebut karena justru melahirkan kemacetan baru.
Ketiga, menciptakan kekumuhan
baru di sepanjang bawah rel MRT. Kekawatiran ini wajar mengingat sudah banyak
bukti yang dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Kebetulan belum ada
bukti di mana ada kondisi bawah jembatan layang maupun rel kereta api listrik
di Jakarta ini rapi, bersih, dan tertib. Yang ada justru kekumuhan baru karena
menjadi tempat tinggal gelandangan.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar